Penjelasan Ahli Kimia Farmasi BNN soal Obat yang Membuat Warga Di Kediri Masuk RS

| Kamis, 14 September 2017


Sebagian pelajar yang mengonsumsi obat terlarang yang bertuliskan PCC itu bahkan sampai harus diikat saat berbaring di RSJ Kendari. (dok. istimewa)

Jakarta - Staf Ahli Kimia Farmasi Badan Narkotika Nasional (BNN) Kombes Mufti Djusnir angkat bicara terkait banyaknya korban berjatuhan usai mengonsumsi obat PCC. Hingga saat ini, tercatat 82 pasien telah dibawa ke sejumlah rumah sakit di Kendari. Mereka hilang kesadaran usai mengonsumsi obat terlarang itu.

Pelajar di Kendari yang menjadi korban obat pil PCC (Paracetamol, Caffeine, Carisoprodol) terus bertambah. Data terbaru, total pelajar yang harus menjalani perawatan di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Kendari sebanyak 50 orang dari sebelumnya 32 orang.

Seperti apa bentuk obat terlarang itu? Badan Narkotika Nasional (BNN) menjelaskan pil PCC yang dikonsumsi puluhan remaja di Kendari itu bukan lah jenis narkotika apalagi narkoba flakka.

“Flakka sangat berbeda dengan kandungan zat atau obat-obat PPC yang dikonsumsi oleh anak sekolah di Kendari,” ujar Deputi Pemberantasan BNN Inspektur Jenderal Arman Depari.

Menurut Mufti, harus diyakini dulu apa yang telah dikonsumsi korban hingga menimbulkan dampak demikian. Sebab, dari informasi yang didapatkan, ada beberapa macam obat yang diracik.

BACA JUGA                               
VIDEO: BNN Pastikan Kasus Overdosis di Kendari Bukan Karena Flakka
Kurikulum Prodi Dokter Layanan Primer Masih Belum Disepakati
BPOM Imbau Masyarakat Cek Kode Ini Sebelum Membeli Produk Pangan

Menurutnya, pil PCC biasa dikonsumsi untuk penghilang rasa sakit. “Dan juga sebagian di antaranya digunakan untuk obat sakit jantung,”
"Jika benar mereka meracik sejumlah obat, di antaranya obat PCC, harus dikonfirmasi dari laboratorium BPOM setempat,",

Dari pengakuan salah satu korban, terungkap bahwa dia telah mengonsumsi tiga jenis obat berbeda, yakni Tramadol, Somadril, dan PCC. Ketiga jenis obat itu dicampur dan diminum secara bersamaan dengan menggunakan air putih.

"Jika mereka mencampur tiga obat itu akan menimbulkan efek sinergis. Obat bekerja memengaruhi susunan saraf pusat. Dia menjadi kerja searah menghantam saraf pusat otak dan akan menimbulkan ketidakseimbangan," jelas Mufti.

Ragam jenis obat tersebut, kata dia, ada sebagiannya yang sudah tidak tersedia lagi di pasaran lantaran ditarik dari peredaran. Karena itu, aparat hukum harus menyelidiki oknum yang menyebarkan obat berbahaya tersebut.

"Informasi yang kita dapatkan, Somadril sudah ditarik dari peredaran. Enggak boleh. Tramadol resmi tapi harus ada resep dokter. Tidak dijual bebas. Harus dikonsultasikan dengan apoteker agar dosis yang diberikan kepada konsumen tepat," ujar dia.

Sementara obat PCC, kata dia, memiliki kandungan senyawa Carisoprodol. Jenis obat ini berfungsi mengatasi nyeri dan ketegangan otot.

Obat ini tergolong muscle relaxants (pelemas otot). Obat ini bekerja pada jaringan saraf dan otak yang mampu merilekskan otot. Obat ini biasanya digunakan saat istirahat, saat melakukan terapi fisik, dan pengobatan lain.

Menurutnya, PCC tidak bebas diperjualbelikan. Harus dengan izin dan resep dokter. “Tapi ternyata ini beredar secara bebas, bahkan dijual kepada anak-anak sekolah dengan harga 20 butir Rp 25 ribu,” ujar Arman.

PCC, jika dikonsumsi secara berlebihan dapat membuat orang kejang-kejang, mual-mual, dan seluruh badan terasa sakit.

Lantas apakah PCC termasuk bagian dalam narkoba? Mufti menilai hal itu bisa saja terjadi lantaran memiliki zat adiktif. Meski demikian, perlu hasil laboratorium untuk mengetahui jenis dari narkoba tersebut.




0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲