Warga Korea Selatan menonton berita TV yang melaporkan peluncuran rudal Korea Utara di Stasiun Kereta Seoul, Selasa (29/8). Korut menembakkan satu rudal balistik melewati pulau Hokaido sebelum akhirnya jatuh di Samudera Pasifik. (AP/Ahn Young-joon)
Tokyo - Korea Utara dinilai sedang mempertontonkan kemampuan rudal balistiknyanya, saat meluncurkan misil diduga Hwasong-12 ke arah Samudera Pasifik, melintasi langit Jepang, pada Selasa, 29 Agustus 2017, pukul 5.58 waktu Pyongyang.
Seperti dikutip dari The Daily Beast, Selasa (29/8/2017), apa yang sekilas terlihat sebagai sebuah peluncuran rudal yang dilakukan Korut pada target hampa itu, sejatinya 'tamparan keras' bagi Amerika Serikat, dan khususnya Presiden Donald Trump.
Stephan Haggard dari University of California di San Diego berpendapat, Korut telah memperhitungkan dengan sempurna aksinya. Tujuannya, untuk menciptakan kericuhan politik.
Tokyo - Korea Utara dinilai sedang mempertontonkan kemampuan rudal balistiknyanya, saat meluncurkan misil diduga Hwasong-12 ke arah Samudera Pasifik, melintasi langit Jepang, pada Selasa, 29 Agustus 2017, pukul 5.58 waktu Pyongyang.
Seperti dikutip dari The Daily Beast, Selasa (29/8/2017), apa yang sekilas terlihat sebagai sebuah peluncuran rudal yang dilakukan Korut pada target hampa itu, sejatinya 'tamparan keras' bagi Amerika Serikat, dan khususnya Presiden Donald Trump.
Stephan Haggard dari University of California di San Diego berpendapat, Korut telah memperhitungkan dengan sempurna aksinya. Tujuannya, untuk menciptakan kericuhan politik.
Dengan menembakkannya ke Samudra Pasifik, melewati Jepang, menurut Stephan, Korut mengirim sinyal politik yang kuat, mempertontonkan kemampuan program rudalnya, tanpa melewati 'garis merah' dan tanpa memancing tindakan militer AS.
"Jika Korea Utara meluncurkan misil ke selatan, AS akan menganggapnya sebagai provokasi dan meresponsnya dengan keras," kata Menteri Luar Negeri Jepang, Taro Kono seperti dikutip dari Washington Post.
Para analis berpendapat, uji coba rudal Korut menandai eskalasi yang mengkhawatirkan. "Ini adalah peluncuran yang jauh lebih berbahaya," kata Abraham Denmark, seorang mantan pejabat Pentagon yang kini menjabat sebagai Direktur Urusan Asia di Wilson Center.
Uji coba rudal yang dilakukan Korut telah diperhitungkan dengan sangat hati-hati untuk terbang nyaris lurus ke atas dan mendarat di laut antara Semenanjung Korea dan Jepang. "Rudal Korut memiliki kebiasaan untuk 'pecah' di tengah peluncuran, jadi jika ini terjadi dan bagian rudal jatuh ke Jepang, meski bukan disengaja, maka berarti itu menjadi serangan de facto terhadap Jepang," jelas Denmark.
Media AS lainnya, Time, menulis bahwa aksi agresif yang dilakukan oleh Pyongyang merupakan tindakan yang telag diperhitungkan dengan cermat untuk membungkam retorika kebijakan luar negeri Washington, Seoul, Tokyo, dan Beijing di Semenanjung Korea.
Cukup beralasan memang jika menyebut uji coba tersebut merupakan sebuah tamparan keras kepada Trump atau upaya untuk membungkam retorika politik negara yang terlibat dalam ceruk tensi tinggi di Semenanjung. Sebab, menengok informasi beberapa pekan terakhir, AS, Korut, Korsel, Jepang, China, Rusia, dan beberapa negara lain nampak terlibat dalam sebuah 'pertempuran kata-kata' dengan saling bertukar retorika ancaman perang dan mengecam aksi yang dilakukan masing-masing negara.
Pada awal Agustus 2017 lalu, sejumlah pihak sempat dibuat mengeryitkan dahi atas komentar Presiden AS Donald Trump. Presiden ke-45 AS itu menyatakan akan membawa "letupan kemarahan (fire and fury) kepada Korea Utara". Komentar itu datang setelah rangkaian uji coba rudal yang dilakukan Korea Utara pada akhir Juli lalu.
Retorika agresif yang disampaikan oleh Presiden Trump justru menuai respons dari Korea Utara yang juga tak kalah mengejutkan. Pada pekan yang sama, lewat media corong pemerintah, KCNA, negara yang dipimpin oleh Kim Jong-un itu menyatakan niat untuk menyerang teritorial AS di Guam, Pasifik sebagai target uji coba peluncuran rudal.
Perang kata, retorika, dan ancaman itu sempat surut hingga beberapa hari ke depan. Puncaknya, pada 14 Agustus 2017, Kim Jong-un akhirnya memutuskan untuk menunda peluncuran rudal ke Guam. Sebuah langkah yang disebut 'bijak' oleh Trump.
Namun, ketika Korut terlihat surut, AS justru bertindak sebaliknya. Bersama Korea Selatan, Australia, dan Inggris, Negeri Paman Sam menggelar latihan militer gabungan di Semenanjung Korea pada 21 Agustus 2017.
Perhelatan itu justru kembali menyulut Korut kembali melontarkan retorika ancaman. Pyongyang menilai bahwa latihan gabungan tersebut adalah provokasi.
"Trump dan kawan-kawan mendeklarasikan latihan mempersiapkan perang nuklir melawan DPRK (Korut). Tindakan itu adalah langkah sembrono yang akan mendorong situasi ke dalam fase perang nuklir yang tidak terkendali," tulis media resmi pemerintah Rodong Sinmun, sehari sebelum Ulchi Freedom Guardian dimulai, seperti dikutip dari CNN, Senin 21 Agustus 2017.
Negara lain yang tidak terlibat dalam pusaran tensi tinggi itu turut mengutarakan keluhan serupa. Rusia salah satunya, menganggap bahwa latihan gabungan militer itu akan semakin memanaskan situasi di Semenanjung Korea.
"Amerika Serikat dan Korea Selatan kembali menggelar latihan militer berskala besar di Semenanjung Korea, sebuah langkah yang sama sekali tidak membantu menurunkan tensi tinggi di kawasan," kata Juru Bicara Kementerian Pertahanan Rusia, Maria Zakharova.
"Kami mendesak seluruh pihak untuk bertindak berhati-hati. Setiap langkah yang keliru atau tak disengaja dapat memicu konflik militer," ia menambahkan.
Dan kali itu, guna merespons latihan militer gabungan AS Cs di kawasan Semenanjung Korea, tak lagi kata-kata yang dilontarkan oleh Korea Utara. Melainkan sebuah rudal.
rudal itu juga terjadi beberapa pekan pasca-Dewan Keamanan PBB menjatuhkan sanksi baru terhadap Korea Utara. Serta beberapa hari setelah AS yakin bahwa Kim Jong-un nampak mulai mengendurkan program nuklir dan rudalnya akibat sanksi itu.
"Saya yakin bahwa Kim Jong-un nampak mulai menghormati kita (AS)," kata Presiden Trump yang meyakini bahwa Korut akan patuh dan menghentikan program rudalnya pasca-sanksi teranyar dari DK PBB.
Namun, seperti yang pepatah Barat katakan, 'and the rest is history'. Rudal yang diluncurkan Selasa pagi tadi, menjadi misil ke-21 yang ditembakkan oleh Korut sepanjang 2017 ini. The New York Times melansir bahwa sejak Kim Jong-un berkuasa pada akhir 2011, Korut telah melakukan lebih dari 80 kali uji coba rudal. Namun, peluncuran peluru kendali itu tidak pernah diarahkan ke Jepang.
Korut sebelumnya pernah meluncurkan roket yang melintasi Jepang, yakni pada tahun 1998 dan tahun 2009. Namun, keduanya diklaim adalah roket peluncur satelit dan peristiwa ini telah lebih dulu diinformasikan kepada Jepang. Sementara kali ini, menurut para analis, jelas bertujuan militer.
"Saya yakin bahwa Kim Jong-un nampak mulai menghormati kita (AS)," kata Presiden Trump yang meyakini bahwa Korut akan patuh dan menghentikan program rudalnya pasca-sanksi teranyar dari DK PBB.
Namun, seperti yang pepatah Barat katakan, 'and the rest is history'. Rudal yang diluncurkan Selasa pagi tadi, menjadi misil ke-21 yang ditembakkan oleh Korut sepanjang 2017 ini. The New York Times melansir bahwa sejak Kim Jong-un berkuasa pada akhir 2011, Korut telah melakukan lebih dari 80 kali uji coba rudal. Namun, peluncuran peluru kendali itu tidak pernah diarahkan ke Jepang.
Korut sebelumnya pernah meluncurkan roket yang melintasi Jepang, yakni pada tahun 1998 dan tahun 2009. Namun, keduanya diklaim adalah roket peluncur satelit dan peristiwa ini telah lebih dulu diinformasikan kepada Jepang. Sementara kali ini, menurut para analis, jelas bertujuan militer.
0 komentar:
Posting Komentar